What's New Here?

    Mengapa Agama Islam Turun di Jazirah Arab

    Ketika Islam turun di Jazirah Arab, maka banyak yang menanyakan alasan pemilihan lokasi tersebut, kenapa tidak di Eropa, Amerika, atau Asia, tapi justru di Jazirah Arab?

    Pertanyaan ini sama saja dengan menanyakan kenapa al Quran berbahasa Arab. Meskipun hal ini menjadi hak Allah, namun pastinya tidak ada sesuatu yang terjadi tanpa maksud tertentu. Oleh sebab itu ada beberapa dugaan kuat mengapa Islam turun di Jazirah Arab.

    Pertama, posisi Jazirah Arab. Jika Anda mencermati peta dunia, maka akan terlihat bagaimana Jazirah Arab memiliki posisi yang sangat strategis. Jazirah ini diapit oleh tiga Benua, maka akan banyak orang yang lalu-lalang baik dari Timur maupun Barat. Tidak heran jika dalam sejarah Islam selalu tergambar adanya perdagangan mengingat posisinya yang cukup nyaman. Dengan demikian Islam mudah tersebar.

    Faktanya, uang di Jazirah Arab ketika itu adalah dinar dan dirham. Dua uang tersebut memiliki fungsi untuk perdagangan yang melampaui batas-batas wilayah. Dinar berlaku di Barat atau Romawi, sedangkan Dirham berlaku di negeri Timur seperti Persia. Dua
    peradaban tersebut adalah peradaban yang cukup kuat di dunia ketika itu.

    Kedua, bahasa Arab. Tidak mungkin sebuah ajaran agama diturunkan dengan bahasa berbeda untuk objeknya. Oleh sebab itu Islam pun menggunakan bahasa Arab ketika turun di Jazirah Arab.
     

    Bahasa Arab merupakan salah satu bahasa yang gaya bahasanya tetap bertahan sepanjang masa. Bandingkan dengan bahasa salah satu daerah di Indonesia yang beberapa sudah mulai terkikis hilang. Bahasa Arab tidak. Ia merupakan bahasa tertua di dunia. Bahasa para pendahulu.

    Bahasa Arab juga salah satu bahasa terkaya di dunia. Dua huruf saja bisa membentuk lebih dari lima kata lebih. Sehingga kandungan agama yang memiliki banyak ajaran bisa terangkum di dalamnya. Belum lagi karakter bahasa arab yang seringkali menggunakan pengibaratan ketika menjelaskan dengan maksud lebih dipahami oleh pendengarnya, hal ini menjadikan bahasa Arab sebagai media sempurna bagi agama Islam.


    Ketiga, karakter orang arab. Orang Arab hidup di tengah-tengah gurun pasir yang menjadikannya tidak banyak terkontaminasi dari budaya-budaya lain. Kemurnian sifat-sifat semacam kejujuran, keadilan, saling menghormati, menepati janji, musyawarah menjadi cukup tinggi. Nilai-nilai kemanusiaan cenderung masih tertanam.

    Hal-hal tersebut pada akhirnya mendukung tertananamnya nilai-nilai keislaman yang cukup kuat dalam diri mereka. Sehingga orang arab menyampaikan sesuatu apa adanya dengan penuh kejujuran yang tinggi. Sehingga kemungkinan sangat kecil ayat-ayat diputarbalikkan. Apa yang mereka terima, mereka sampaikan. Bahkan bukan hanya agama Islam yang turun di Jazirah Arab, tapi agama lain seperti Yahudi juga diturunkan di Jazirah Arab. Ingat, tanah Palestina yang dijuluki negeri para nabi dan rasul.

    Keempat, jiwa pedagang. Pedagang memiliki kelebihan dalam kemampuan berkomunikasi dan kemampuannya memiliki banyak relasi atau pertemanan. Sehingga dirasa paling tepat sebagai dai yang menyebarkan agama Islam. Belum lagi jiwa pedagang yang memang sering bepergian melewati batas-batas daerah sendiri. Hal ini kemudian menjadikan Islam dengan cepat tersebar. Faktanya, salah satu teori menyebarnya Islam di Indonesia adalah adanya pedagang dari Gujarat yang melakukan pola interaksi intensif di pesisir-pesisir Indonesia.


    Kelima, adanya rumah ibadah pertama. Di jazirah Arab ada ka’bah yang merupakan rumah peribadatan pertama. Sehingga banyak orang yang ingin beribadah hadir di sekelilingnya. Ramainya ka’bah bisa terlihat dari kisah Abrahah yang ingin menghancurkan ka’bah karena keramaian rumah ibadah tersebut. Oleh sebab itu umat manusia beragama di masa dahulu berasal dari wilayah tersebut.

    Sumber: tanya jawab, Ust. Sarwat, Lc dan blog geogletrik-12.blogspot.com

    Mengapa Agama Islam Turun di Jazirah Arab

    Posted by Dastan No comments

    Ketika Islam turun di Jazirah Arab, maka banyak yang menanyakan alasan pemilihan lokasi tersebut, kenapa tidak di Eropa, Amerika, atau Asia, tapi justru di Jazirah Arab?

    Pertanyaan ini sama saja dengan menanyakan kenapa al Quran berbahasa Arab. Meskipun hal ini menjadi hak Allah, namun pastinya tidak ada sesuatu yang terjadi tanpa maksud tertentu. Oleh sebab itu ada beberapa dugaan kuat mengapa Islam turun di Jazirah Arab.

    Pertama, posisi Jazirah Arab. Jika Anda mencermati peta dunia, maka akan terlihat bagaimana Jazirah Arab memiliki posisi yang sangat strategis. Jazirah ini diapit oleh tiga Benua, maka akan banyak orang yang lalu-lalang baik dari Timur maupun Barat. Tidak heran jika dalam sejarah Islam selalu tergambar adanya perdagangan mengingat posisinya yang cukup nyaman. Dengan demikian Islam mudah tersebar.

    Faktanya, uang di Jazirah Arab ketika itu adalah dinar dan dirham. Dua uang tersebut memiliki fungsi untuk perdagangan yang melampaui batas-batas wilayah. Dinar berlaku di Barat atau Romawi, sedangkan Dirham berlaku di negeri Timur seperti Persia. Dua
    peradaban tersebut adalah peradaban yang cukup kuat di dunia ketika itu.

    Kedua, bahasa Arab. Tidak mungkin sebuah ajaran agama diturunkan dengan bahasa berbeda untuk objeknya. Oleh sebab itu Islam pun menggunakan bahasa Arab ketika turun di Jazirah Arab.
     

    Bahasa Arab merupakan salah satu bahasa yang gaya bahasanya tetap bertahan sepanjang masa. Bandingkan dengan bahasa salah satu daerah di Indonesia yang beberapa sudah mulai terkikis hilang. Bahasa Arab tidak. Ia merupakan bahasa tertua di dunia. Bahasa para pendahulu.

    Bahasa Arab juga salah satu bahasa terkaya di dunia. Dua huruf saja bisa membentuk lebih dari lima kata lebih. Sehingga kandungan agama yang memiliki banyak ajaran bisa terangkum di dalamnya. Belum lagi karakter bahasa arab yang seringkali menggunakan pengibaratan ketika menjelaskan dengan maksud lebih dipahami oleh pendengarnya, hal ini menjadikan bahasa Arab sebagai media sempurna bagi agama Islam.


    Ketiga, karakter orang arab. Orang Arab hidup di tengah-tengah gurun pasir yang menjadikannya tidak banyak terkontaminasi dari budaya-budaya lain. Kemurnian sifat-sifat semacam kejujuran, keadilan, saling menghormati, menepati janji, musyawarah menjadi cukup tinggi. Nilai-nilai kemanusiaan cenderung masih tertanam.

    Hal-hal tersebut pada akhirnya mendukung tertananamnya nilai-nilai keislaman yang cukup kuat dalam diri mereka. Sehingga orang arab menyampaikan sesuatu apa adanya dengan penuh kejujuran yang tinggi. Sehingga kemungkinan sangat kecil ayat-ayat diputarbalikkan. Apa yang mereka terima, mereka sampaikan. Bahkan bukan hanya agama Islam yang turun di Jazirah Arab, tapi agama lain seperti Yahudi juga diturunkan di Jazirah Arab. Ingat, tanah Palestina yang dijuluki negeri para nabi dan rasul.

    Keempat, jiwa pedagang. Pedagang memiliki kelebihan dalam kemampuan berkomunikasi dan kemampuannya memiliki banyak relasi atau pertemanan. Sehingga dirasa paling tepat sebagai dai yang menyebarkan agama Islam. Belum lagi jiwa pedagang yang memang sering bepergian melewati batas-batas daerah sendiri. Hal ini kemudian menjadikan Islam dengan cepat tersebar. Faktanya, salah satu teori menyebarnya Islam di Indonesia adalah adanya pedagang dari Gujarat yang melakukan pola interaksi intensif di pesisir-pesisir Indonesia.


    Kelima, adanya rumah ibadah pertama. Di jazirah Arab ada ka’bah yang merupakan rumah peribadatan pertama. Sehingga banyak orang yang ingin beribadah hadir di sekelilingnya. Ramainya ka’bah bisa terlihat dari kisah Abrahah yang ingin menghancurkan ka’bah karena keramaian rumah ibadah tersebut. Oleh sebab itu umat manusia beragama di masa dahulu berasal dari wilayah tersebut.

    Sumber: tanya jawab, Ust. Sarwat, Lc dan blog geogletrik-12.blogspot.com

    Cara Menyikapi Perbedaan Empat Madzhab

    Saya pernah sholat subuh di sebuah masjid di kota Ngawi, kebetulan masjid tersebut banyak disinggahi bis atau mobil yang membawa banyak penumpang antar kota antar propinsi. Ketika itu ada kejadian unik, sebuah rombongan sesudah sholat ngomel ternyata imamnya (tidak qunut) tidak sesuai dengan prinsip yang diyakininya (Qunut). Yang terjadi kemudian, beberapa dari rombongan tersebut mengulangi sholatnya. Pertanyaannya adalah bisakah perbedaan dalam contoh persoalan fiqh yang bersumber dari mazdhab seperti contoh kasus tadi bisa disatukan?

    Di Indonesia sendiri sangat jarang menyebutkan empat madzhab, Hanafi, Maliki, Syafi’I, dan Hanbali. Namun lebih sering mengutarakan bahwa imamnya adalah imam syafi’I. Bahkan di Jawa Tengah sering ada pujian bahwa imam kita adalah Imam Syafi’i. Wajar jika kemudian ketika tidak mengamalkan salah satu ajarannya, seolah apa yang dilakukannya batal, tidak sah, hingga kemudian mengulang.

    Mazdhab sendiri merupakan sistematisasi ajaran yang memudahkan umat muslim untuk mengamalkannya. Hal ini mengingat dalam Islam, sumber hukum dari ayat qur’an berjumlah 6000 ayat lebih, sedangkan hadist sebagai sumber hukum kedua berjumlah jutaan. Sehingga tidak mudah bagi seorang muslim untuk begitu saja mengamalkan. Justru dengan adanya empat madzhab, ajaran Islam, terutama dalam amalan ibadah bisa terpetakan.

    Oleh sebab itu antara satu madzhab dengan yang lainnya tidak ada istilah yang satu benar atau yang satu salah, justru ketika ada empat jenis peta yang tersedia, maka tinggal memakai salah satu versi untuk mencapai surganya. Hal ini mengingat masing-masing memiliki landasan yang cukup kuat untuk membuat peta tersebut berdasarkan ribuan ayat dan jutaan hadist yang dimiliki. Mereka semua berusaha untuk mencapai surganya.

    Bahkan para imam justru merekomendasikan untuk merujuk pada hadist rasul ketika mendapatkan pertentangan dalam hukum yang mereka putuskan, atau dianggap mengandung kesalahan. Imam Syafi’I bahkan sampai menyatakan,

    “Setiap perkataanku atau setiap ushul (asas) yang saya letakkan, kemudian ternyata riwayat dari Rasulullah shallallaahu ’alaihi wa sallam menyelisihi perkataanku, maka pendapat yang harus diikuti adalah apa yang disabdakan oleh Rasulullah shallallaahu ’alaihi wa sallam, dan akupun berpendapat dengannya.” (kabarislamia.com)

    Oleh sebab itu meskipun mereka tidak hidup dalam satu masa, namun yang hidup di zaman setelahnya tidak menyalahkan yang hidup sebelumnya, semua memiliki landasan dan pegangan. Seperti Imam Syafi’I tidak menyalahkan Imam Malik, atau Imam Hanbali menyalahkan Imam Syafi’I yang hidup di masa sebelumnya. Hal ini karena keikhlasan mereka dalam membangun struktur fiqh untuk umat Islam, bukan berdasarkan ego dan mengatakan bahwa dirinya paling benar. Maka muncul sebuah ironi, yang membuat mazdhab tidak pernah bertengkar, justru yang menggunakan madzhab bertengkar.

    Masalah besar yang ada di Indonesia adalah fanatisme terhadap tokohnya, bukan terhadap hasil hukum yang sudah diperas dari pemikiran mereka. Akibatnya, ketika menemukan perbedaan yang dilihat hanya sebatas “Imam Syafi’I mengatakan demikian”, dan dianggap yang lain mengandung kesalahan.

    Padahal Rasul sendiri justru variatif ketika menghukumi sebuah persoalan ibadah yang diamalkan oleh umatnya. Contohnya, ketika dua orang laki-laki diutus oleh Nabi, kemudian keduanya tidak mendapatkan air, maka keduanya bertayamum dan mengerjakan shalat, kemudian keduanya mendapatkan air di saat masih ada waktu untuk shalat. Uniknya salah satu dari keduanya berwudhu, kemudian mengulangi shalatnya.

    Maka Rasulullah Saw. berkata kepada orang yang berwudlu dan mengulangi shalatnya, “Bagimu pahala dua kali”

    Sedangkan yang tidak berwudhu beliau sampaikan, “Kamu telah mengikuti (melakukan sesuai) sunnah dan shalatmu itu cukup (sah).” HR. Abu Daud. (Salman Al Audah-Bagaimana kita berbeda pendapat)

    Dari persoalan ini terlihat kebijaksanaan dan lemah lembut yang ditunjukkan oleh Rasul, beliau memuji keduanya tanpa menyalahkan salah satunya. Kearifan sikap seperti ini yang rasanya sudah hilang di tengah umat Islam.

    Seandainya kejadian ini terjadi di masa ini, kemungkinan besar akan menyampaikan, “Kamu bodoh, karena telah melakukan sholat dua kali dalam satu waktu.” Atau “Kamu terlalu mudah untuk tayamum, harusnya dicari terlebih dahulu”.

    Oleh sebab itu cara menyikapi perbedaan empat mazdhab sebenarnya hanya bisa disatukan dengan kearifan sikap yang menyadari bahwa pengamalnya sedang berusaha untuk mendapatkan ridho dari Allah melalui ibadah yang dijalaninya. Sehingga bisa jadi kita berkesimpulan, jangan terlalu lelah memikirkan orang yang tidak qunut atau yang qunut, karena kebanyakan orang shalat subuh kesiangan.


    Cara Menyikapi Perbedaan Empat Madzhab

    Posted by Dastan No comments

    Saya pernah sholat subuh di sebuah masjid di kota Ngawi, kebetulan masjid tersebut banyak disinggahi bis atau mobil yang membawa banyak penumpang antar kota antar propinsi. Ketika itu ada kejadian unik, sebuah rombongan sesudah sholat ngomel ternyata imamnya (tidak qunut) tidak sesuai dengan prinsip yang diyakininya (Qunut). Yang terjadi kemudian, beberapa dari rombongan tersebut mengulangi sholatnya. Pertanyaannya adalah bisakah perbedaan dalam contoh persoalan fiqh yang bersumber dari mazdhab seperti contoh kasus tadi bisa disatukan?

    Di Indonesia sendiri sangat jarang menyebutkan empat madzhab, Hanafi, Maliki, Syafi’I, dan Hanbali. Namun lebih sering mengutarakan bahwa imamnya adalah imam syafi’I. Bahkan di Jawa Tengah sering ada pujian bahwa imam kita adalah Imam Syafi’i. Wajar jika kemudian ketika tidak mengamalkan salah satu ajarannya, seolah apa yang dilakukannya batal, tidak sah, hingga kemudian mengulang.

    Mazdhab sendiri merupakan sistematisasi ajaran yang memudahkan umat muslim untuk mengamalkannya. Hal ini mengingat dalam Islam, sumber hukum dari ayat qur’an berjumlah 6000 ayat lebih, sedangkan hadist sebagai sumber hukum kedua berjumlah jutaan. Sehingga tidak mudah bagi seorang muslim untuk begitu saja mengamalkan. Justru dengan adanya empat madzhab, ajaran Islam, terutama dalam amalan ibadah bisa terpetakan.

    Oleh sebab itu antara satu madzhab dengan yang lainnya tidak ada istilah yang satu benar atau yang satu salah, justru ketika ada empat jenis peta yang tersedia, maka tinggal memakai salah satu versi untuk mencapai surganya. Hal ini mengingat masing-masing memiliki landasan yang cukup kuat untuk membuat peta tersebut berdasarkan ribuan ayat dan jutaan hadist yang dimiliki. Mereka semua berusaha untuk mencapai surganya.

    Bahkan para imam justru merekomendasikan untuk merujuk pada hadist rasul ketika mendapatkan pertentangan dalam hukum yang mereka putuskan, atau dianggap mengandung kesalahan. Imam Syafi’I bahkan sampai menyatakan,

    “Setiap perkataanku atau setiap ushul (asas) yang saya letakkan, kemudian ternyata riwayat dari Rasulullah shallallaahu ’alaihi wa sallam menyelisihi perkataanku, maka pendapat yang harus diikuti adalah apa yang disabdakan oleh Rasulullah shallallaahu ’alaihi wa sallam, dan akupun berpendapat dengannya.” (kabarislamia.com)

    Oleh sebab itu meskipun mereka tidak hidup dalam satu masa, namun yang hidup di zaman setelahnya tidak menyalahkan yang hidup sebelumnya, semua memiliki landasan dan pegangan. Seperti Imam Syafi’I tidak menyalahkan Imam Malik, atau Imam Hanbali menyalahkan Imam Syafi’I yang hidup di masa sebelumnya. Hal ini karena keikhlasan mereka dalam membangun struktur fiqh untuk umat Islam, bukan berdasarkan ego dan mengatakan bahwa dirinya paling benar. Maka muncul sebuah ironi, yang membuat mazdhab tidak pernah bertengkar, justru yang menggunakan madzhab bertengkar.

    Masalah besar yang ada di Indonesia adalah fanatisme terhadap tokohnya, bukan terhadap hasil hukum yang sudah diperas dari pemikiran mereka. Akibatnya, ketika menemukan perbedaan yang dilihat hanya sebatas “Imam Syafi’I mengatakan demikian”, dan dianggap yang lain mengandung kesalahan.

    Padahal Rasul sendiri justru variatif ketika menghukumi sebuah persoalan ibadah yang diamalkan oleh umatnya. Contohnya, ketika dua orang laki-laki diutus oleh Nabi, kemudian keduanya tidak mendapatkan air, maka keduanya bertayamum dan mengerjakan shalat, kemudian keduanya mendapatkan air di saat masih ada waktu untuk shalat. Uniknya salah satu dari keduanya berwudhu, kemudian mengulangi shalatnya.

    Maka Rasulullah Saw. berkata kepada orang yang berwudlu dan mengulangi shalatnya, “Bagimu pahala dua kali”

    Sedangkan yang tidak berwudhu beliau sampaikan, “Kamu telah mengikuti (melakukan sesuai) sunnah dan shalatmu itu cukup (sah).” HR. Abu Daud. (Salman Al Audah-Bagaimana kita berbeda pendapat)

    Dari persoalan ini terlihat kebijaksanaan dan lemah lembut yang ditunjukkan oleh Rasul, beliau memuji keduanya tanpa menyalahkan salah satunya. Kearifan sikap seperti ini yang rasanya sudah hilang di tengah umat Islam.

    Seandainya kejadian ini terjadi di masa ini, kemungkinan besar akan menyampaikan, “Kamu bodoh, karena telah melakukan sholat dua kali dalam satu waktu.” Atau “Kamu terlalu mudah untuk tayamum, harusnya dicari terlebih dahulu”.

    Oleh sebab itu cara menyikapi perbedaan empat mazdhab sebenarnya hanya bisa disatukan dengan kearifan sikap yang menyadari bahwa pengamalnya sedang berusaha untuk mendapatkan ridho dari Allah melalui ibadah yang dijalaninya. Sehingga bisa jadi kita berkesimpulan, jangan terlalu lelah memikirkan orang yang tidak qunut atau yang qunut, karena kebanyakan orang shalat subuh kesiangan.


    Adakah Hak Asasi Manusia (HAM) dalam Islam?

    Saat ini orang lebih familiar dengan istilah Hak Asasi Manusia (HAM) mengingat di televisi sering disiarkan berita bahwa telah terjadi pelanggaran HAM oleh si Fulan. Apalagi sudah ada lembaga resmi yang mengurus tentang HAM, yaitu KOMNAS HAM. Kemudian muncul pertanyaan, apakah dalam Islam ada HAM?

    Maka harus dipahami terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan HAM. Asal dari hukum ini adalah deklarasi kemerdekaan Amerika Serikat (Wikipedia.org), yang diartikan dengan hak-hak yang telah dimiliki oleh seseorang sejak dalam kandungan dan berlaku universal. HAM tidak dapat dicabut dari manusia karena memang menjadi kebutuhan dasar.

    Bila mengacu pada kriteria ini, maka dalam Islam juga sudah dijelaskan bahwa ada beberapa hak manusia yang pasti dimiliki dan tidak dapat dicabut. Beberapa hal tersebut ditetapkan untuk kemaslahan manusia itu sendiri, dan kemaslahannya di akhirat nanti. Sehingga ditetapkan beberapa hak manusia yang paling pokok. Yaitu, hak untuk beragama, hak menjaga jiwanya, hak menjaga akalnya, hak dalam menjaga keturunan, dan hak untuk menjaga hartanya.

    Islam menyadari bahwa hak-hak di atas jika diganggu akan menjadikan seseorang tidak nyaman. Ketika menjalankan agama diganggu maka akan muncul pertikaian karena tidak diterima. Ketika rumah tangga diganggu, pasti juga tidak diterima, apalagi dicuri hartanya, jelas akan membuat hidup tidak nyaman.

    Untuk menjadikan manusia mendapatkan hak-hak di atas secara sempurna, maka agama Islam menurunkan hukum-hukum yang harus dijalankan, dan disebut dengan syariat Islam. Bentuknya adalah sebuah perintah dan larangan untuk dilaksanakan dan dijauhi demi kebebasan manusia untuk mendapatkan haknya.

    Contoh larangan untuk meminum-minuman keras, ini dilakukan agar terjaga akalnya, tidak hilang sampai terjadi perbuatan-perbuatan yang memalukan karena hilangnya akal dan pikiran. Contoh lain larangan untuk berzina, ini ditetapkan demi terjaganya unsur kejelasan keturunan, toh sekarang banyak sekali anak yang bingung siapa ayahnya. Maka Islam memerintahkan pernikahan agar terjaga keturunan tersebut.

    Yang sering menjadi gugatan adalah, hal tersebut justru mengekang kebebasan seseorang, adanya larangan menjadikan seseorang tidak pernah bebas. Hal ini memang benar. Namun demikian tidak ada kebebasan di dunia ini yang benar-benar mutlak. Polisi juga membuat aturan agar orang yang berkendara di jalan raya selamat. Mereka mengekang tapi untuk kebaikan pengendara itu sendiri. Demikian juga dengan Islam. Naïf kalau kemudian dinyatakan Islam mengekang kebebasan justru polisi dikatakan tidak mengekang.

    Di dunia ini banyak hukum yang harus dijalankan. Maka kebebasan hadir tidak pernah mutlak karena terikat dengan kebebasan yang lainnya. Di Amerika saja rasisme (perbedaan kulit) sangat tinggi. Terlihat dari kasus-kasus yang muncul. Artinya orang kulit hitam merasa tidak mendapatkan kebebasan, dihina dan lain sebagainya.


    Oleh sebab itu Hak Asasi Manusi (HAM) dalam Islam sebenarnya ada. Islam mewujudkannya dengan memberikan syariat yang dijalankan demi kemaslahatan manusia terhadap agamanya, jiwa,  akalnya, keturunannya, dan hartanya. Tinggal manusia mau menjalankan atau tidak, karena Allah menciptakan syariat sesungguhnya demi kemaslahatan manusia itu sendiri.

    Adakah Hak Asasi Manusia (HAM) dalam Islam?

    Posted by Dastan No comments

    Saat ini orang lebih familiar dengan istilah Hak Asasi Manusia (HAM) mengingat di televisi sering disiarkan berita bahwa telah terjadi pelanggaran HAM oleh si Fulan. Apalagi sudah ada lembaga resmi yang mengurus tentang HAM, yaitu KOMNAS HAM. Kemudian muncul pertanyaan, apakah dalam Islam ada HAM?

    Maka harus dipahami terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan HAM. Asal dari hukum ini adalah deklarasi kemerdekaan Amerika Serikat (Wikipedia.org), yang diartikan dengan hak-hak yang telah dimiliki oleh seseorang sejak dalam kandungan dan berlaku universal. HAM tidak dapat dicabut dari manusia karena memang menjadi kebutuhan dasar.

    Bila mengacu pada kriteria ini, maka dalam Islam juga sudah dijelaskan bahwa ada beberapa hak manusia yang pasti dimiliki dan tidak dapat dicabut. Beberapa hal tersebut ditetapkan untuk kemaslahan manusia itu sendiri, dan kemaslahannya di akhirat nanti. Sehingga ditetapkan beberapa hak manusia yang paling pokok. Yaitu, hak untuk beragama, hak menjaga jiwanya, hak menjaga akalnya, hak dalam menjaga keturunan, dan hak untuk menjaga hartanya.

    Islam menyadari bahwa hak-hak di atas jika diganggu akan menjadikan seseorang tidak nyaman. Ketika menjalankan agama diganggu maka akan muncul pertikaian karena tidak diterima. Ketika rumah tangga diganggu, pasti juga tidak diterima, apalagi dicuri hartanya, jelas akan membuat hidup tidak nyaman.

    Untuk menjadikan manusia mendapatkan hak-hak di atas secara sempurna, maka agama Islam menurunkan hukum-hukum yang harus dijalankan, dan disebut dengan syariat Islam. Bentuknya adalah sebuah perintah dan larangan untuk dilaksanakan dan dijauhi demi kebebasan manusia untuk mendapatkan haknya.

    Contoh larangan untuk meminum-minuman keras, ini dilakukan agar terjaga akalnya, tidak hilang sampai terjadi perbuatan-perbuatan yang memalukan karena hilangnya akal dan pikiran. Contoh lain larangan untuk berzina, ini ditetapkan demi terjaganya unsur kejelasan keturunan, toh sekarang banyak sekali anak yang bingung siapa ayahnya. Maka Islam memerintahkan pernikahan agar terjaga keturunan tersebut.

    Yang sering menjadi gugatan adalah, hal tersebut justru mengekang kebebasan seseorang, adanya larangan menjadikan seseorang tidak pernah bebas. Hal ini memang benar. Namun demikian tidak ada kebebasan di dunia ini yang benar-benar mutlak. Polisi juga membuat aturan agar orang yang berkendara di jalan raya selamat. Mereka mengekang tapi untuk kebaikan pengendara itu sendiri. Demikian juga dengan Islam. Naïf kalau kemudian dinyatakan Islam mengekang kebebasan justru polisi dikatakan tidak mengekang.

    Di dunia ini banyak hukum yang harus dijalankan. Maka kebebasan hadir tidak pernah mutlak karena terikat dengan kebebasan yang lainnya. Di Amerika saja rasisme (perbedaan kulit) sangat tinggi. Terlihat dari kasus-kasus yang muncul. Artinya orang kulit hitam merasa tidak mendapatkan kebebasan, dihina dan lain sebagainya.


    Oleh sebab itu Hak Asasi Manusi (HAM) dalam Islam sebenarnya ada. Islam mewujudkannya dengan memberikan syariat yang dijalankan demi kemaslahatan manusia terhadap agamanya, jiwa,  akalnya, keturunannya, dan hartanya. Tinggal manusia mau menjalankan atau tidak, karena Allah menciptakan syariat sesungguhnya demi kemaslahatan manusia itu sendiri.

    Cara Islam Menyikapi Perubahan Sosial dan Kebudayaan

    Zaman selalu berubah, terutama dalam arti kebudayaan yang ada di dalamnya hingga memengaruhi pola interaksi sosial yang ada di dalamnya. Bagaimana kini melihat perempuan berbaju seksi sudah menjadi pemandangan yang wajar akibat perubahan kebudayaan. Oleh sebab itu kemudian muncul pertanyaan besar, bagaimana cara Islam menyikapi perubahan sosial dan kebudayaan yang begitu cepat berubah? Biasanya kemudian menyatakan Islam sudah tidak sesuai dengan perkembangan zaman, harus direvisi. Maka seharusnya kita teliti terlebih dahulu.

    Dalam Islam sendiri biasanya terbagi tiga golongan dalam menyikapi perubahan sosial. Pertama, golongan yang sama sekali mengingkari perubahan sosial. Dalam arti perubahan tersebut tidak sedikitpun memengaruhi bagaimana cara berpakaian, cara konsumsi makanan, dan lain-lain. Semacam di Indonesia juga harus menggunakan jubah, atau makan dengan kurma. Golongan ini cenderung menganggap Islam 100% diamalkan seperti rasul dulu mengamalkan. Padahal tentang cara berpakaian tidak pernah disebutkan harus memakai jenis pakaian apa, namun dijelaskan apa yang harus ditutupi. Sehingga golongan ini lebih cenderung dilatarbelakangi semangat mengamalkan Islam yang sangat tinggi.

    Golongan kedua adalah sebaliknya. Justru menganggap bahwa segala sesuatu yang diajarkan pada zaman Rasul dulu, sudah sangat tidak sesuai mengingat adanya perubahan waktu dan budaya. Maka tidak pas jika yang dulu rasul amalkan dengan keadaan yang sekarang. Sampai cara berpakaian harus direvisi karena atas nama kebebasan. Tidak masalah berbaju dengan lingkar leher rendah karena hal ini sudah umum. Padahal zaman dulu juga keadaannya lebih bebas, namun Islam memberikan aturan cara berpakaian dengan tujuan yang sama, untuk memberikan kebebasan, tetapi dalam menjaga kehormatan. Maka golongan yang ini terlalu arogan.

    Golongan ketiga adalah pertengahannya. Menganggap ada hal-hal yang tetap dan tidak bisa berubah. Namun ada hal-hal yang bisa menyesuaikan zaman. Contoh dalam persoalan kepercayaan terhadap satu Tuhan, kemudian kepercayaan terhadap nabi Muhammad, rukun Iman dan Islam, semuanya tetap. Namun perilaku terhadap perubahan budaya itu yang berbeda. Seperti budaya dalam berpakaian (contoh paling mudah), karena melihat di Indonesia umumnya memakai sarung atau celana, tinggal disesuaikan saja, yang terpenting auratnya tertutup dan tidak ketat.

    Golongan ketiga adalah golongan yang merefleksikan pernyataan bahwa Islam adalah agama yang sesuai dengan segala tempat dan waktu. Maka hal-hal yang pokok berupa pandangan hidup, pola pikir, sudut pandang tidak akan pernah berubah. Seperti menyikapi pola pikir barat, maka yang diambil adalah cara bagaimana mereka memajukan bangsanya bukan pola hidup dan pandangan hidupnya. Tentang makna menghargai, toleransi, bukan berarti mengikuti ajaran, tapi membiarkan mereka beribadah dengan nyaman adalah titik penting yang harus ditekankan.

    Oleh sebab itu al Qur’an jika dibaca dengan teliti terlihat sangat umum sekali. Meskipun ada penjelasan di hadist, namun beberapa ayat keumumannya juga menunjukkan bahwa ia akan terus sesuai dengan tempat dan zaman. Seperti aurat yang hanya menunjukkan batas, tanpa menyebut cara berpakaian. Manusia berarti bisa berkreasi dalam batas yang sudah ditentukan.

    Sehingga wajar jika dalam Islam ada sumber hukum yang berfungsi sebagai cara untuk menjawab perubahan zaman dan kebudayaan yang disebut dengan ijtihad. Ijtihad disandarkan kepada ulama-ulama yang hidup di zaman itu. Dan ijtihad pasti bukan persoalan-persoalan yang sudah pasti ketentuannya, misalkan sholat berubah tiga waktu karena sibuk, tapi dalam persoalan yang belum dijelaskan dalam al quran dan hadist, terutama karena perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi semacam bayi tabung dan sebagainya. Dengan adanya tingkatan sumber hukum inilah Islam mampu terus sesuai dengan zaman yang dilewati dan tempat yang didiami.  

    Cara Islam Menyikapi Perubahan Sosial dan Kebudayaan

    Posted by Dastan 1 comment

    Zaman selalu berubah, terutama dalam arti kebudayaan yang ada di dalamnya hingga memengaruhi pola interaksi sosial yang ada di dalamnya. Bagaimana kini melihat perempuan berbaju seksi sudah menjadi pemandangan yang wajar akibat perubahan kebudayaan. Oleh sebab itu kemudian muncul pertanyaan besar, bagaimana cara Islam menyikapi perubahan sosial dan kebudayaan yang begitu cepat berubah? Biasanya kemudian menyatakan Islam sudah tidak sesuai dengan perkembangan zaman, harus direvisi. Maka seharusnya kita teliti terlebih dahulu.

    Dalam Islam sendiri biasanya terbagi tiga golongan dalam menyikapi perubahan sosial. Pertama, golongan yang sama sekali mengingkari perubahan sosial. Dalam arti perubahan tersebut tidak sedikitpun memengaruhi bagaimana cara berpakaian, cara konsumsi makanan, dan lain-lain. Semacam di Indonesia juga harus menggunakan jubah, atau makan dengan kurma. Golongan ini cenderung menganggap Islam 100% diamalkan seperti rasul dulu mengamalkan. Padahal tentang cara berpakaian tidak pernah disebutkan harus memakai jenis pakaian apa, namun dijelaskan apa yang harus ditutupi. Sehingga golongan ini lebih cenderung dilatarbelakangi semangat mengamalkan Islam yang sangat tinggi.

    Golongan kedua adalah sebaliknya. Justru menganggap bahwa segala sesuatu yang diajarkan pada zaman Rasul dulu, sudah sangat tidak sesuai mengingat adanya perubahan waktu dan budaya. Maka tidak pas jika yang dulu rasul amalkan dengan keadaan yang sekarang. Sampai cara berpakaian harus direvisi karena atas nama kebebasan. Tidak masalah berbaju dengan lingkar leher rendah karena hal ini sudah umum. Padahal zaman dulu juga keadaannya lebih bebas, namun Islam memberikan aturan cara berpakaian dengan tujuan yang sama, untuk memberikan kebebasan, tetapi dalam menjaga kehormatan. Maka golongan yang ini terlalu arogan.

    Golongan ketiga adalah pertengahannya. Menganggap ada hal-hal yang tetap dan tidak bisa berubah. Namun ada hal-hal yang bisa menyesuaikan zaman. Contoh dalam persoalan kepercayaan terhadap satu Tuhan, kemudian kepercayaan terhadap nabi Muhammad, rukun Iman dan Islam, semuanya tetap. Namun perilaku terhadap perubahan budaya itu yang berbeda. Seperti budaya dalam berpakaian (contoh paling mudah), karena melihat di Indonesia umumnya memakai sarung atau celana, tinggal disesuaikan saja, yang terpenting auratnya tertutup dan tidak ketat.

    Golongan ketiga adalah golongan yang merefleksikan pernyataan bahwa Islam adalah agama yang sesuai dengan segala tempat dan waktu. Maka hal-hal yang pokok berupa pandangan hidup, pola pikir, sudut pandang tidak akan pernah berubah. Seperti menyikapi pola pikir barat, maka yang diambil adalah cara bagaimana mereka memajukan bangsanya bukan pola hidup dan pandangan hidupnya. Tentang makna menghargai, toleransi, bukan berarti mengikuti ajaran, tapi membiarkan mereka beribadah dengan nyaman adalah titik penting yang harus ditekankan.

    Oleh sebab itu al Qur’an jika dibaca dengan teliti terlihat sangat umum sekali. Meskipun ada penjelasan di hadist, namun beberapa ayat keumumannya juga menunjukkan bahwa ia akan terus sesuai dengan tempat dan zaman. Seperti aurat yang hanya menunjukkan batas, tanpa menyebut cara berpakaian. Manusia berarti bisa berkreasi dalam batas yang sudah ditentukan.

    Sehingga wajar jika dalam Islam ada sumber hukum yang berfungsi sebagai cara untuk menjawab perubahan zaman dan kebudayaan yang disebut dengan ijtihad. Ijtihad disandarkan kepada ulama-ulama yang hidup di zaman itu. Dan ijtihad pasti bukan persoalan-persoalan yang sudah pasti ketentuannya, misalkan sholat berubah tiga waktu karena sibuk, tapi dalam persoalan yang belum dijelaskan dalam al quran dan hadist, terutama karena perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi semacam bayi tabung dan sebagainya. Dengan adanya tingkatan sumber hukum inilah Islam mampu terus sesuai dengan zaman yang dilewati dan tempat yang didiami.  

    Kontroversi Bid’ah Hasanah

    Di zaman sekarang, jamak didengar perkataan, “Ini bid’ah, tidak ada di zaman rasul". Efeknya orang sering terkejut ketika mendapatkan pernyataan tersebut. Apalagi yang sedang berusaha giat beribadah, tiba-tiba menerima perkataan seperti itu bisa jadi justru bingung, “Sebenarnya ajaran Islam ini bagaimana? Kok perasaan bid’ah semua.”

    Bid’ah secara bahasa berarti sesuatu baru yang tidak ada sebelumnya. Jadi kalau hp sekarang ada dan di zaman Rasul tidak ada, maka ini berarti bid’ah, namun secara bahasa saja. Sedangkan secara pengertian bid’ah merupakan segala hal baru berkaitan dengan ajaran Islam yang belum pernah dilakukan pada Zaman Nabi.

    Persoalannya adalah terpecahnya dua golongan dalam pemahaman arti bid’ah. Pertama, golongan yang mengharamkan setiap hal baru dalam agama, seperti dulu tidak ada mimbar, sekarang ada mimbar, berarti bid’ah.

    Golongan kedua, golongan yang tidak mempermasalahkan adanya sesuatu yang baru dalam agama asalkan memiliki landasan dalil yang mendasarinya, dan pastinya tidak bertentangan dengan kaidah syara’. Hal ini karena ulama menyadari akan banyak hal baru yang terjadi seiring berjalannya zaman.

    Yang menjadi kesepakatan antar ulama adalah bid’ah yang menyangkut persoalan yang sudah jelas keharamannya. Pertama, bid’ah dalam persoalan akidah. Menyembah lewat media pohon atau patung agar Allah mendengar. Kedua, bid’ah dalam persoalan perubahan ibadah yang sudah jelas syari’atnya, menambah jumlah rakaat shalat. Ketiga, mengubah waktu atau tempat ibadah yang sudah ditentukan, seperti haji di bulan syawwal. Keempat, setiap hal baru yang tidak memiliki pijakan dalilnya. Seperti puasa harus sepuluh hari tanpa minum dan makan.

    Namun demikian, bila diperhatikan, persoalan yang menyangkut perdebatan bid’ah, umumnya adalah persoalan yang berupa amalan sunnah. Cirinya, kalau ditinggalkan tidak menjadi dosa. Contoh tahlil, kalau ditinggalkan orang tidak berdosa. Contoh lain semacam tarawih 24 rakaat (waktu zaman rasul 8), ditinggalkan tidak mendapat dosa.

    Sehingga bid’ah yang seringkali menjadi perdebatan adalah dalam lingkup kontroversi bid’ah hasanah, dalam hal ini ada dua golongan. Pertama, yang menyatakan bahwa kalau tidak dilakukan rasul berarti bid’ah. Kedua, selama masih ada dalilnya maka disebut bid’ah hasanah. Padahal ketika dikerjakan hanya akan mendapatkan pahala banyak, ditinggalkan tidak mendapatkan apa-apa.

    Sayangnya banyak yang tidak menyadari bahwa perdebatan ini tidak pernah ada akhir. Alasannya sederhana, amalan yang sunnah dan makruh saja antara ulama memiliki perbedaan. Apalagi dalam persoalan bid’ah hasanah, tidak akan jauh berbeda. Yang perlu di garis bawahi, hal ini berkaitan dengan amalan dalam usaha meraih pahala, maka ini usaha yang wajar.

    Contoh di zaman Rasul, disebutkan dalam riwayat bukhari dan muslim Rasulullah pernah mengutus seseorang untuk memimpin sariyyah (pasukan perang). Anehnya setiap kali sholat, pemimpin tersebut selalu menutup tiap surat al Qur’an yang dibaca dengan surat al ikhlas. Seperti membaca dua surat selain al fatihah. Harus diingat, rukun shalat dalam membaca surat al qur’an hanya al fatihah. 

    Maka dengan kejadian ini banyak yang mengadu ke Rasul. Jawaban rasul cukup bijak, “Tanyailah dulu orang tadi kenapa dia melakukan ritual seperti itu.”

    Pengamal tersebut menjawab, “Akau melakukan hal itu karena memang surat al Ikhlas ini mengandung keterangan tentang sifat Allah yang maha pengasih, sehingga aku suka membacanya.”

    Setelah itu Rasulullah bersabda, “Beritahu dia bahwa Allah mencintainya”.

    Lebih arif jika kita bertanya dulu seperti yang rasul lakukan. Kecuali bid’ah yang dilakukan mendekati kesyirikan, maka hal tersebut yang harus diingatkan.

    rujukan: Heri Mahfudzi, Lc, Kontroversi Bid'ah

    Kontroversi Bid’ah Hasanah

    Posted by Dastan No comments

    Di zaman sekarang, jamak didengar perkataan, “Ini bid’ah, tidak ada di zaman rasul". Efeknya orang sering terkejut ketika mendapatkan pernyataan tersebut. Apalagi yang sedang berusaha giat beribadah, tiba-tiba menerima perkataan seperti itu bisa jadi justru bingung, “Sebenarnya ajaran Islam ini bagaimana? Kok perasaan bid’ah semua.”

    Bid’ah secara bahasa berarti sesuatu baru yang tidak ada sebelumnya. Jadi kalau hp sekarang ada dan di zaman Rasul tidak ada, maka ini berarti bid’ah, namun secara bahasa saja. Sedangkan secara pengertian bid’ah merupakan segala hal baru berkaitan dengan ajaran Islam yang belum pernah dilakukan pada Zaman Nabi.

    Persoalannya adalah terpecahnya dua golongan dalam pemahaman arti bid’ah. Pertama, golongan yang mengharamkan setiap hal baru dalam agama, seperti dulu tidak ada mimbar, sekarang ada mimbar, berarti bid’ah.

    Golongan kedua, golongan yang tidak mempermasalahkan adanya sesuatu yang baru dalam agama asalkan memiliki landasan dalil yang mendasarinya, dan pastinya tidak bertentangan dengan kaidah syara’. Hal ini karena ulama menyadari akan banyak hal baru yang terjadi seiring berjalannya zaman.

    Yang menjadi kesepakatan antar ulama adalah bid’ah yang menyangkut persoalan yang sudah jelas keharamannya. Pertama, bid’ah dalam persoalan akidah. Menyembah lewat media pohon atau patung agar Allah mendengar. Kedua, bid’ah dalam persoalan perubahan ibadah yang sudah jelas syari’atnya, menambah jumlah rakaat shalat. Ketiga, mengubah waktu atau tempat ibadah yang sudah ditentukan, seperti haji di bulan syawwal. Keempat, setiap hal baru yang tidak memiliki pijakan dalilnya. Seperti puasa harus sepuluh hari tanpa minum dan makan.

    Namun demikian, bila diperhatikan, persoalan yang menyangkut perdebatan bid’ah, umumnya adalah persoalan yang berupa amalan sunnah. Cirinya, kalau ditinggalkan tidak menjadi dosa. Contoh tahlil, kalau ditinggalkan orang tidak berdosa. Contoh lain semacam tarawih 24 rakaat (waktu zaman rasul 8), ditinggalkan tidak mendapat dosa.

    Sehingga bid’ah yang seringkali menjadi perdebatan adalah dalam lingkup kontroversi bid’ah hasanah, dalam hal ini ada dua golongan. Pertama, yang menyatakan bahwa kalau tidak dilakukan rasul berarti bid’ah. Kedua, selama masih ada dalilnya maka disebut bid’ah hasanah. Padahal ketika dikerjakan hanya akan mendapatkan pahala banyak, ditinggalkan tidak mendapatkan apa-apa.

    Sayangnya banyak yang tidak menyadari bahwa perdebatan ini tidak pernah ada akhir. Alasannya sederhana, amalan yang sunnah dan makruh saja antara ulama memiliki perbedaan. Apalagi dalam persoalan bid’ah hasanah, tidak akan jauh berbeda. Yang perlu di garis bawahi, hal ini berkaitan dengan amalan dalam usaha meraih pahala, maka ini usaha yang wajar.

    Contoh di zaman Rasul, disebutkan dalam riwayat bukhari dan muslim Rasulullah pernah mengutus seseorang untuk memimpin sariyyah (pasukan perang). Anehnya setiap kali sholat, pemimpin tersebut selalu menutup tiap surat al Qur’an yang dibaca dengan surat al ikhlas. Seperti membaca dua surat selain al fatihah. Harus diingat, rukun shalat dalam membaca surat al qur’an hanya al fatihah. 

    Maka dengan kejadian ini banyak yang mengadu ke Rasul. Jawaban rasul cukup bijak, “Tanyailah dulu orang tadi kenapa dia melakukan ritual seperti itu.”

    Pengamal tersebut menjawab, “Akau melakukan hal itu karena memang surat al Ikhlas ini mengandung keterangan tentang sifat Allah yang maha pengasih, sehingga aku suka membacanya.”

    Setelah itu Rasulullah bersabda, “Beritahu dia bahwa Allah mencintainya”.

    Lebih arif jika kita bertanya dulu seperti yang rasul lakukan. Kecuali bid’ah yang dilakukan mendekati kesyirikan, maka hal tersebut yang harus diingatkan.

    rujukan: Heri Mahfudzi, Lc, Kontroversi Bid'ah

    Keajaiban Al Qur’an bagi Otak Manusia

    Al Quran merupakan kitab suci umat Islam yang diyakini diwahyukan oleh Allah kepada nabi Muhammad Saw. sebagai sebuah petunjuk bagi umat manusia dalam mengarungi segala hidupnya. Sayangnya tidak banyak yang mengetahui keajaiban yang ada di dalam al Qur’an. Berikut kami akan urai beberapa keajaiban dan fakta menarik seputar al Qur’an.

    Pertama, Al Qur’an merupakan satu-satunya kitab suci yang paling banyak tidak dimengerti artinya oleh pembacanya. Ya, hal ini tidak perlu dibuktikan secara ilmiah. Mayoritas masyarakat Indonesia saja tidak memahami arti dalam al Qur’an, namun gerakan-gerakan semacam membaca Qur’an bersama, menghafal Qur’an marak digerakkan. Padahal kitab suci lain meskipun sudah diterjemahkan tetap tidak banyak yang membaca. Tapi al Qur’an justru memberikan fakta berbeda.

    Kedua, setiap lafadz dalam al Qur’an mempunyai kesesuaian dengan otak manusia. Dalam arti lafadz yang paling mudah melekat di otak manusia. Buktinya, anak kecil yang masih berumur 6 tahun sudah bisa menghafal al Qur’an. Bukti lain, jika Anda membaca sangat cepat berdasarkan hafalan yang dimiliki di kepala, maka kecepatan itu akan mengalahkan hafalan orang lain terhadap sebuah lagi jika dibacakan dengan cepat. Artinya nutrisi paling sesuai dengan otak adalah al Qur’an.

    Ketiga, karena al Qur’an sesuai dengan otak manusia, maka bacaan dalam al Qur’an sangat mempengaruhi kecerdasan manusia. Jika Anda belum percaya, coba berada sekelas dengan penghafal al Qur’an, ia akan memiliki kecerdasan di atas rata-rata. Logikanya, otak terus diberikan nutrisi oleh lafadz-lafadz tersebut. Oleh sebab itu banyak beasiswa bagi anak-anak yang mampu menghafalkan al Quran.

    Keempat, Al Qur’an mampu menaikkan kecerdasan manusia. Jika Anda menganggap yang menghafal al Qur’an adalah anak-anak cerdas, maka sebenarnya tidak benar. Sebuah penelitian dilakukan oleh Dr. Masaru Emoto dan Kazuya Ishibashi, bahwa bacaan al Qur’an sangat mempengaruhi kualitas air yang dibacakannya. Hubungannya dengan otak adalah, dalam otak terdapat cairan, jika dibacakan al Qur’an kualitas dari cairan dalam otak tersebut akan meningkat, sehingga kecerdasan pun akan meningkat.

    Kelima, Al Qur’an dapat menenangkan pikiran. Dr. Al Qadhi, Klinik Besar Florida Amerika Serikat, berhasil membuktikan bacaan al Qur’an memiliki pengaruh lain untuk otak meskipun yang mendengar tidak mengerti arti yang didendangkan (arrahmah.com). Tidak mengherankan jika seringkali ada orang yang mendengarkan al Qur’an sampai menangis, trenyuh.

    Keajaiban Al Qur’an bagi Otak Manusia

    Posted by Dastan No comments

    Al Quran merupakan kitab suci umat Islam yang diyakini diwahyukan oleh Allah kepada nabi Muhammad Saw. sebagai sebuah petunjuk bagi umat manusia dalam mengarungi segala hidupnya. Sayangnya tidak banyak yang mengetahui keajaiban yang ada di dalam al Qur’an. Berikut kami akan urai beberapa keajaiban dan fakta menarik seputar al Qur’an.

    Pertama, Al Qur’an merupakan satu-satunya kitab suci yang paling banyak tidak dimengerti artinya oleh pembacanya. Ya, hal ini tidak perlu dibuktikan secara ilmiah. Mayoritas masyarakat Indonesia saja tidak memahami arti dalam al Qur’an, namun gerakan-gerakan semacam membaca Qur’an bersama, menghafal Qur’an marak digerakkan. Padahal kitab suci lain meskipun sudah diterjemahkan tetap tidak banyak yang membaca. Tapi al Qur’an justru memberikan fakta berbeda.

    Kedua, setiap lafadz dalam al Qur’an mempunyai kesesuaian dengan otak manusia. Dalam arti lafadz yang paling mudah melekat di otak manusia. Buktinya, anak kecil yang masih berumur 6 tahun sudah bisa menghafal al Qur’an. Bukti lain, jika Anda membaca sangat cepat berdasarkan hafalan yang dimiliki di kepala, maka kecepatan itu akan mengalahkan hafalan orang lain terhadap sebuah lagi jika dibacakan dengan cepat. Artinya nutrisi paling sesuai dengan otak adalah al Qur’an.

    Ketiga, karena al Qur’an sesuai dengan otak manusia, maka bacaan dalam al Qur’an sangat mempengaruhi kecerdasan manusia. Jika Anda belum percaya, coba berada sekelas dengan penghafal al Qur’an, ia akan memiliki kecerdasan di atas rata-rata. Logikanya, otak terus diberikan nutrisi oleh lafadz-lafadz tersebut. Oleh sebab itu banyak beasiswa bagi anak-anak yang mampu menghafalkan al Quran.

    Keempat, Al Qur’an mampu menaikkan kecerdasan manusia. Jika Anda menganggap yang menghafal al Qur’an adalah anak-anak cerdas, maka sebenarnya tidak benar. Sebuah penelitian dilakukan oleh Dr. Masaru Emoto dan Kazuya Ishibashi, bahwa bacaan al Qur’an sangat mempengaruhi kualitas air yang dibacakannya. Hubungannya dengan otak adalah, dalam otak terdapat cairan, jika dibacakan al Qur’an kualitas dari cairan dalam otak tersebut akan meningkat, sehingga kecerdasan pun akan meningkat.

    Kelima, Al Qur’an dapat menenangkan pikiran. Dr. Al Qadhi, Klinik Besar Florida Amerika Serikat, berhasil membuktikan bacaan al Qur’an memiliki pengaruh lain untuk otak meskipun yang mendengar tidak mengerti arti yang didendangkan (arrahmah.com). Tidak mengherankan jika seringkali ada orang yang mendengarkan al Qur’an sampai menangis, trenyuh.

    back to top