Mengapa Islam Terpecah Belah?

Posted by Dastan on 2


Sering ditemukan orang Islam mengkafirkan yang lain, bahkan menyalahkan ajaran yang lain, sehingga terpecah-pecah menjadi banyak kelompok namun tidak rukun antara satu dengan yang lain. Padahal kitab suci agama Islam hanya satu, al Qur’an, namun mengapa seolah seringkali timbul jama’ah yang satu seolah bukan saudara jama’ah yang lainnya?
Al Qur’an memiliki salah satu kelebihan bisa menjawab segala persoalan umat manusia dari waktu ke waktu dengan syari’at yang terkandung di dalamnya. Meskipun konteksnya berbeda, namun ajaran dalam al Qur’an mampu menjawabnya dengan baik.
Yang sering dilupakan adalah kalimat-kalimat dalam al Qur’an, tidak semua berbicara spesifik semacam babi itu haram, ada pula yang berbicara dengan global semacam alam ghaib. Oleh sebab itu terkadang penafsiran al Qur’an seringkali menghasilkan sesuatu yang beragam.
Di zaman dimana al Qur’an diturunkan kepada nabi Muhammad, banyak persoalan yang membingungkan dirujuk ke sosok tersebut, sehingga perselisihan antara satu dengan yang lain ada tapi bisa dijawab dan disatukan. Pertanyaan-pertanyaan tersebut selanjutnya memunculkan dialog yang kemudian menjadi hadist qauliah disamping juga hadist-hadist yang bersumber dari perbuatan sang Rasul.
Selanjutnya hadist memiliki kedudukan sebagai sumber hukum Islam setelah al Qur’an. Apabila tidak ditemukan dalam al Qur’an, maka carilah dalam hadist. Atau apabila masih umum dalam al Qur’an, temukan penjelasannya dalam hadist.
Tentu saja selanjutnya akan menjadi lebih banyak perbedaan pendapat yang tidak bisa disatukan setelah rasul meninggal. Persoalan tidak hanya dalam mengartikan al Qur’an, tapi juga perbedaan dalam mengartikan hadist Rasul itu sendiri. Belum lagi periwayatan yang berbeda dari satu tokoh ke tokoh yang lain. Oleh sebab itu agama Islam muncul menjadi beragam dan seolah sulit disatukan.
Namun demikian para sahabat nabi sudah mengantisipasi hal ini. al Qur’an yang awalnya belum tertulis dan masih tertinggal dalam hafalan para sahabat dikodifikasikan dalam bentuk sebuah mushaf. Hadist nabi yang bertebaran dalam ingatan sahabat juga dikumpulkan dan diklasifikasikan menjadi shohih, hasan, dhoif dan seterusnya hingga umat Islam setelahnya mampu untuk memilah mana yang baik dan benar, mana yang baik tapi belum tentu benar, bahkan mana yang benar meskipun seolah tidak baik dalam akal manusia yang hidup di masa sekarang.
Terlebih jika masih ada persoalan yang seolah-olah belum ditemukan dalam dua sumber tersebut, maka ijtihad ulama menjadi sumber rujukan. Dengan catatan disertai kriteria yang sangat ketat, dan merujuk pada dalil-dalil Qur’an dan hadist.
Jika melihat dari hal ini, maka sebab utama perpecahan sebenarnya bukan ajaran tersebut, namun pemahaman dalam struktur bagaimana sumber utama agama Islam menjadi rujukan. Maksudnya jika ada yang ingin menafsirkan al Qur’an dan Sunnah secara otomatis harus mengetahui ilmu tafsir dan hadist. Jika tidak maka harus mengikuti ulama yang otoritatif dalam bidang yang bersangkutan.
Kesalahan fatal umat Islam adalah fanatisme berlebihan terhadap tokoh. Contoh jika ada pendapat tentang wudlu, maka yang ditanya adalah itu pendapat siapa, bukan yang ditanya dalilnya apa. Ini sebuah ironi tersendiri. Persoalan lebih jauh jika yang diikuti bukanlah ulama yang otoritatif, pada akhirnya umat di satu kelompok dengan umat di kelompok lain akan berbeda pendapat dan saling menyalahkan.
Padahal Imam Syafi’I sendiri sudah menyampaikan,
“Setiap apa yang aku katakan lalu ada hadits shahih dari Rasulullah yang menyelisihi ucapanku maka hadits lebih utama untuk diikuti dan janganlah kalian taklid kepadaku”.
Tulisan Imam Syafi’I yang lain,
“Apabila kalian mendapati sunnah Rasulullah maka ikutilah sunnah Rasulullah dan janganlah menoleh ucapan seorangpun”
Bahkan Imam Syafi’I sampai rela demikian,
“Apabila telah shahih hadits dari Rasulullah maka ambilah dan tinggalkan pendapatku”
Imam Syafi’I sebagai ulama besar tentu memahami bisa jadi pendapatnya memiliki perbedaan dengan pendapat ulama lain, oleh sebab itu beliau sampai menyatakan hal demikian, “Kembalikan pada sumber yang utama.” Dengan kata lain kelemahan utama adalah minimnya pembelajaran yang dilakukan oleh umat Islam dengan keilmuan Islam itu sendiri.
Kesalahan fatal selanjutnya adalah belum pahamnya bahwa dalam agama Islam ada wilayah yang boleh berbeda, ada juga wilayah yang sama sekali tidak boleh berbeda. Contoh wilayah yang tidak boleh berbeda adalah persoalan ketuhanan dimana sudah jelas diartikan bahwa Tuhan satu, esa, dan tidak diperanakkan. Jika berbeda tentang ini, maka sudah jelas bahwa mereka non muslim, dan mereka memang bukan bagian dari Islam dari sisi ajaran. Sayangnya seringkali hal ini dilupakan, padahal dakwah Rasul dulu kala mayoritas dan sangat diutamakan pada tataran yang satu ini.
Justru yang sering diperdebatkan adalah wilayah yang setiap muslim boleh berbeda. Contoh tentang persoalan apakah sholat subuh harus memakai qunut atau tidak. Padahal pakai tidaknya qunut hanya memperbesar pahala, tidak sampai membatalkan sholat, apalagi sampai keluar dari Islam. Inilah persoalan furu’iyah, cabang yang seharusnya umat Islam nikmati. Sayangnya justru dalam hal ini umat Islam terlalu lama berkutat dalam perkelahian.
Boleh dikatakan secara sederhana mengapa umat Islam terpecah belah seringkali karena tidak tahu bagaimana mendefinisikan kawan dan lawan. Seringkali lawan dijadikan kawan, dan kawan justru menjelma lawan. Pada akhirnya umat Islam yang besar menjadi seolah kecil karena banyaknya perbedaan.
Oleh: Ma'mun Affany

About the Author

Ma'mun Affany WA di 085747777728

pin: 56C7E212

Get Updates

Subscribe to our e-mail newsletter to receive updates.

Share This Post

Related posts

2 komentar:

  1. واَعْتصِمُواْ بِحَبْلِ الله جَمِيْعًا وَلاَ تَفَـرَّقوُا وَاذْ كـُرُو نِعْمَتَ الله عَلَيْكُمْ إٍذْكُنْتُمْ أَعْـدَاءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلـُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهِ إِخْوَاناً وَكُنْتُمْ عَلىَ شَفاَ خُـفْرَةٍ مِنَ النَّاِر فَأَنْقـَدَكُمْ مِنْهَا كَذَالِكَ يُبَبِّنُ اللهُ لَكُمْ اَيَاتِهِ لَعَلـَّكُمْ تَهْـتَدُونَ ’{ال عـمران 103}

    Artinya : “Dan berpegang teguhlah kamu sekalian dengan tali Allah dan janganlah kamu sekalian berpecah belah, dan ingatlah nikmat Allah atas kamu semua ketika kamu bermusuh-musuhan maka Dia (Allah) menjinakkan antara hati-hati kamu maka kamu menjadi bersaudara sedangkan kamu diatas tepi jurang api neraka, maka Allah mendamaikan antara hati kamu. Demikianlah Allah menjelaskan ayat ayatnya agar kamu mendapat petunjuk” (Q.S. Ali Imron ayat 103)


    BalasHapus

back to top