Cara Islam Menyikapi Perubahan Sosial dan Kebudayaan
Posted by Dastan
on
1
Dalam Islam sendiri biasanya terbagi tiga golongan dalam
menyikapi perubahan sosial. Pertama, golongan yang sama sekali mengingkari
perubahan sosial. Dalam arti perubahan tersebut tidak sedikitpun memengaruhi
bagaimana cara berpakaian, cara konsumsi makanan, dan lain-lain. Semacam di
Indonesia juga harus menggunakan jubah, atau makan dengan kurma. Golongan ini
cenderung menganggap Islam 100% diamalkan seperti rasul dulu mengamalkan. Padahal
tentang cara berpakaian tidak pernah disebutkan harus memakai jenis pakaian
apa, namun dijelaskan apa yang harus ditutupi. Sehingga golongan ini lebih
cenderung dilatarbelakangi semangat mengamalkan Islam yang sangat tinggi.
Golongan kedua adalah sebaliknya. Justru menganggap bahwa
segala sesuatu yang diajarkan pada zaman Rasul dulu, sudah sangat tidak sesuai
mengingat adanya perubahan waktu dan budaya. Maka tidak pas jika yang dulu
rasul amalkan dengan keadaan yang sekarang. Sampai cara berpakaian harus
direvisi karena atas nama kebebasan. Tidak masalah berbaju dengan lingkar leher
rendah karena hal ini sudah umum. Padahal zaman dulu juga keadaannya lebih
bebas, namun Islam memberikan aturan cara berpakaian dengan tujuan yang sama,
untuk memberikan kebebasan, tetapi dalam menjaga kehormatan. Maka golongan yang
ini terlalu arogan.
Golongan ketiga adalah pertengahannya. Menganggap ada
hal-hal yang tetap dan tidak bisa berubah. Namun ada hal-hal yang bisa
menyesuaikan zaman. Contoh dalam persoalan kepercayaan terhadap satu Tuhan,
kemudian kepercayaan terhadap nabi Muhammad, rukun Iman dan Islam, semuanya
tetap. Namun perilaku terhadap perubahan budaya itu yang berbeda. Seperti budaya
dalam berpakaian (contoh paling mudah), karena melihat di Indonesia umumnya
memakai sarung atau celana, tinggal disesuaikan saja, yang terpenting auratnya
tertutup dan tidak ketat.
Golongan ketiga adalah golongan yang merefleksikan
pernyataan bahwa Islam adalah agama yang sesuai dengan segala tempat dan waktu.
Maka hal-hal yang pokok berupa pandangan hidup, pola pikir, sudut pandang tidak
akan pernah berubah. Seperti menyikapi pola pikir barat, maka yang diambil
adalah cara bagaimana mereka memajukan bangsanya bukan pola hidup dan pandangan
hidupnya. Tentang makna menghargai, toleransi, bukan berarti mengikuti ajaran,
tapi membiarkan mereka beribadah dengan nyaman adalah titik penting yang harus
ditekankan.
Oleh sebab itu al Qur’an jika dibaca dengan teliti terlihat
sangat umum sekali. Meskipun ada penjelasan di hadist, namun beberapa ayat
keumumannya juga menunjukkan bahwa ia akan terus sesuai dengan tempat dan
zaman. Seperti aurat yang hanya menunjukkan batas, tanpa menyebut cara
berpakaian. Manusia berarti bisa berkreasi dalam batas yang sudah ditentukan.
Sehingga wajar jika dalam Islam ada sumber hukum yang
berfungsi sebagai cara untuk menjawab perubahan zaman dan kebudayaan yang
disebut dengan ijtihad. Ijtihad disandarkan kepada ulama-ulama yang hidup di
zaman itu. Dan ijtihad pasti bukan persoalan-persoalan yang sudah pasti
ketentuannya, misalkan sholat berubah tiga waktu karena sibuk, tapi dalam
persoalan yang belum dijelaskan dalam al quran dan hadist, terutama karena
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi semacam bayi tabung dan sebagainya.
Dengan adanya tingkatan sumber hukum inilah Islam mampu terus sesuai dengan
zaman yang dilewati dan tempat yang didiami.
Oleh: Ma'mun Affany
Tagged as: agama islam, filosofi Islam, islam masuk akal, islam rasional, keajaiban al qur'an, konsultasi agama islam
About the Author
Ma'mun Affany WA di 085747777728
pin: 56C7E212
Get Updates
Subscribe to our e-mail newsletter to receive updates.
Share This Post
Related posts
Jadilah ummat pertengahan
BalasHapus