Kontroversi Bid’ah Hasanah

Posted by Dastan on 0

Di zaman sekarang, jamak didengar perkataan, “Ini bid’ah, tidak ada di zaman rasul". Efeknya orang sering terkejut ketika mendapatkan pernyataan tersebut. Apalagi yang sedang berusaha giat beribadah, tiba-tiba menerima perkataan seperti itu bisa jadi justru bingung, “Sebenarnya ajaran Islam ini bagaimana? Kok perasaan bid’ah semua.”

Bid’ah secara bahasa berarti sesuatu baru yang tidak ada sebelumnya. Jadi kalau hp sekarang ada dan di zaman Rasul tidak ada, maka ini berarti bid’ah, namun secara bahasa saja. Sedangkan secara pengertian bid’ah merupakan segala hal baru berkaitan dengan ajaran Islam yang belum pernah dilakukan pada Zaman Nabi.

Persoalannya adalah terpecahnya dua golongan dalam pemahaman arti bid’ah. Pertama, golongan yang mengharamkan setiap hal baru dalam agama, seperti dulu tidak ada mimbar, sekarang ada mimbar, berarti bid’ah.

Golongan kedua, golongan yang tidak mempermasalahkan adanya sesuatu yang baru dalam agama asalkan memiliki landasan dalil yang mendasarinya, dan pastinya tidak bertentangan dengan kaidah syara’. Hal ini karena ulama menyadari akan banyak hal baru yang terjadi seiring berjalannya zaman.

Yang menjadi kesepakatan antar ulama adalah bid’ah yang menyangkut persoalan yang sudah jelas keharamannya. Pertama, bid’ah dalam persoalan akidah. Menyembah lewat media pohon atau patung agar Allah mendengar. Kedua, bid’ah dalam persoalan perubahan ibadah yang sudah jelas syari’atnya, menambah jumlah rakaat shalat. Ketiga, mengubah waktu atau tempat ibadah yang sudah ditentukan, seperti haji di bulan syawwal. Keempat, setiap hal baru yang tidak memiliki pijakan dalilnya. Seperti puasa harus sepuluh hari tanpa minum dan makan.

Namun demikian, bila diperhatikan, persoalan yang menyangkut perdebatan bid’ah, umumnya adalah persoalan yang berupa amalan sunnah. Cirinya, kalau ditinggalkan tidak menjadi dosa. Contoh tahlil, kalau ditinggalkan orang tidak berdosa. Contoh lain semacam tarawih 24 rakaat (waktu zaman rasul 8), ditinggalkan tidak mendapat dosa.

Sehingga bid’ah yang seringkali menjadi perdebatan adalah dalam lingkup kontroversi bid’ah hasanah, dalam hal ini ada dua golongan. Pertama, yang menyatakan bahwa kalau tidak dilakukan rasul berarti bid’ah. Kedua, selama masih ada dalilnya maka disebut bid’ah hasanah. Padahal ketika dikerjakan hanya akan mendapatkan pahala banyak, ditinggalkan tidak mendapatkan apa-apa.

Sayangnya banyak yang tidak menyadari bahwa perdebatan ini tidak pernah ada akhir. Alasannya sederhana, amalan yang sunnah dan makruh saja antara ulama memiliki perbedaan. Apalagi dalam persoalan bid’ah hasanah, tidak akan jauh berbeda. Yang perlu di garis bawahi, hal ini berkaitan dengan amalan dalam usaha meraih pahala, maka ini usaha yang wajar.

Contoh di zaman Rasul, disebutkan dalam riwayat bukhari dan muslim Rasulullah pernah mengutus seseorang untuk memimpin sariyyah (pasukan perang). Anehnya setiap kali sholat, pemimpin tersebut selalu menutup tiap surat al Qur’an yang dibaca dengan surat al ikhlas. Seperti membaca dua surat selain al fatihah. Harus diingat, rukun shalat dalam membaca surat al qur’an hanya al fatihah. 

Maka dengan kejadian ini banyak yang mengadu ke Rasul. Jawaban rasul cukup bijak, “Tanyailah dulu orang tadi kenapa dia melakukan ritual seperti itu.”

Pengamal tersebut menjawab, “Akau melakukan hal itu karena memang surat al Ikhlas ini mengandung keterangan tentang sifat Allah yang maha pengasih, sehingga aku suka membacanya.”

Setelah itu Rasulullah bersabda, “Beritahu dia bahwa Allah mencintainya”.

Lebih arif jika kita bertanya dulu seperti yang rasul lakukan. Kecuali bid’ah yang dilakukan mendekati kesyirikan, maka hal tersebut yang harus diingatkan.

rujukan: Heri Mahfudzi, Lc, Kontroversi Bid'ah

About the Author

Ma'mun Affany WA di 085747777728

pin: 56C7E212

Get Updates

Subscribe to our e-mail newsletter to receive updates.

Share This Post

Related posts

0 komentar:

back to top