Mengapa Umat Islam Saling Menyalahkan dan Mengkafirkan?

Posted by Dastan on 0

Di Indonesia muncul sebuah fenomena positif sekaligus negatif bagi umat Islam. Fenomena positif karena semakin banyak muslim yang berlomba untuk kuat-kuatan dalam mempertahankan sunnah rasul, ini sangat luar biasa, karena menjaga sunnah tentu tidak mudah. Fenomena negatif karena justru ketika menemukan seorang muslim yang tidak menjalankan sunnah akan dianggap bukan saudaranya, lebih buruk lagi dikafirkan dari keislamannya. Oleh sebab itu kita harus urai secara arif dua fenomena ini.


Fenomena ini dalam sudut pandang penulis berawal dari gerakan ihya’ sunnah (menghidupkan sunnah). Segala sesuatu yang berhubungan dengan sunnah yang dianjurkan oleh rasul semacam bersiwak dan harus dengan kayu siwak, kemudian dengan berjenggot. Intinya menghidupkan kembali sunah yang sering ditinggalkan, atau sunnah yang diremehkan. Ini adalah gerakan yang sangat baik. 


Tentu saja mereka juga menghidupkan sunnah untuk sesegera mungkin berada di masjid. Kemudian berpuasa senin dan kamis, atau menghidupkan sholat malam.  Namun demikian, mereka akan tampak jelas di hadapan muslim lain karena seringnya penampilan mereka akan terlihat berbeda mengingat yang dihidupkan juga sunnah yang berkaitan dengan cara berpakaian dan penampilan. Dan mereka akan mengamalkannya harus seratus persen sama persis dengan apa yang diamalkan oleh rasul. Kita harus menaruh hormat pada mereka, karena belum banyak orang yang mampu melakukannya.

Uniknya ketika mereka dipandang sebelah mata oleh orang lain, atau terlihat aneh bagi yang lain, dan merasa asing, mereka akan lebih yakin bahwa itulah yang benar-benar dianjurkan oleh Rasulullah SAW. Dasarnya adalah hadist “Islam ini pada awalnya dianggap aneh dan akan kembali menjadi aneh sebagaimana awalnya dan beruntunglah orang-orang yang dianggap aneh saat itu” (HR. Muslim). Artinya apa yang dilakukan juga mendapatkan justifikasi juga dari hadist.

Masalah besarnya adalah saat kebanggaan untuk mengamalkan hal tersebut justru menimbulkan husnudzon pada pengamalnya bahwa merekalah orang-orang yang paling sesuai dengan apa yang diajarkan oleh Rasulullah SAW, apalagi sudah mengamalkan benar-benar seratus persen. Sehingga yang terjadi adalah, setiap orang yang ada di luar mereka, atau yang tidak seperti mereka meskipun seorang muslim, dianggap sebagai orang yang rendah dan bukan di golongan mereka.

Inilah yang menjadi satu hal yang kurang berkenan di hati muslim yang lain. Rasa respek kepada mereka dalam hal mengamalkan sunnah yang begitu luar biasa justru mengalahkan akhlaq yang diajarkan oleh rasul untuk menghormati antara satu dengan yang lain. Apalagi rasul juga diutus liutammima makarimal akhlaq, untuk menyempurnakan akhlaq manusia. 

Kalau boleh jujur, faktor utama yang menjadikan Islam berkembang pesat ketika itu adalah akhlaq rasul dan para sahabat yang luar biasa. Mereka memang keras, tapi dalam hal aqidah. “Qul aamantu billah”, katakanlah bahwa aku beriman kepada Allah. Semua sahabat paling keras dalam hal ini, sampai rela dibunuh karena mempertahankan ini. Tapi persoalan hubungan dengan sesama muslim mereka adalah orang-orang yang tidak ada duanya. Bahkan nabi Muhammad mendatangi non muslim yang melemparinya setiap hari dengan kotoran karena tiba-tiba absen tidak melemparinya dengan kotoran. Hati siapa yang tak luluh. Jika kita justru memusuhi sesama muslim, rasanya justru menjadikan Islam melemah dengan permusuhan antar sesama. Prinsipnya jika ada uswah dan orang nyaman di antara kita, mereka pasti akan perlahan-lahan mengikuti kita.

Bahkan lebih fenomenal lagi ketika tidak hanya menyalahkan, namun sampai mengkafirkan sesama muslim. Padahal untuk mengatakan orang lain kafir memiliki kriteria bahwa ia kafir secara niat  karena bertentangan dengan enam rukun iman atau mengingkari ajaran Islam yang “qath’i”. Atau ucapan sebagai bentuk pengakuan penolakan terhadap ajaran Islam. Atau perbuatan, melakukan sesuatu yang benar-benar terindikasi aqidah yang kufur. Di luar ini mereka masih muslim.

Memang hadist tentang keterasingan tadi ada kelanjutannya, “Orang-orang yang tetap berbuat baik dengan sunnahku (mengamalkan sunnahku) sementara manusia merusaknya (meninggalkan sunnah) (HR. Tirmidzi)” maka jika ada ada yang meyakini bahwa berpakaian seperti rasul adalah sunnah rasul yang ingin dihidupkan, maka jangan lupakan sunnah rasul yang menyatakan bahwa diutusnya rasul untuk menyempurnakan akhlaq.  Maka jika ada yang berjubah putih meyakini bahwa itu sunnah rasul dan harus dipakai setiap hari, maka yakini pula sunnah rasul yang menyatakan bahwa kebersihan adalah sebagian dari iman.

Seharusnya tuntunan akhlaq rasul seperti saling menghormati, saling menyayangi, bahkan antara satu muslim dengan muslim yang lain seperti bangunan yang saling mengokohkan juga harus dipegang dengan teguh. Sehingga tidak hanya menimbulkan empati karena keteguhan dalam menjalankan sunnah sampai dalam bentuk berpakaian, tapi juga simpati karena akhlaq yang begitu agung.

Saya sampai mendengar cerita ada seseorang yang memang sedang giat menghidupkan sunnah rasul, sangat tampak dari pakaiannya. Selepas salam sholat jum’at ia kemudian langsung melangkah keluar shof yang masih berdzikir dan berdo’a, tanpa terduga kakinya tersangkut di salah satu tubuh jama’ah dan sampai terjatuh. Pasti sudah menjadi pengetahuan umum kita sedikit memohon maaf. Namun orang tersebut tidak, sepertinya jama’ah yang lain bukan dari golongan mereka, dan menjadikan jama’ah tersebut seperti orang asing. Pada akhirnya akhlaq mulia muslim dikalahkan demi ingin dikatakan asing di mata sesama muslim.

Penulis: Ma'mun Affany, M. Ud


About the Author

Ma'mun Affany WA di 085747777728

pin: 56C7E212

Get Updates

Subscribe to our e-mail newsletter to receive updates.

Share This Post

Related posts

0 komentar:

back to top