Cara Menyikapi Perbedaan Empat Madzhab

Posted by Dastan on 0

Saya pernah sholat subuh di sebuah masjid di kota Ngawi, kebetulan masjid tersebut banyak disinggahi bis atau mobil yang membawa banyak penumpang antar kota antar propinsi. Ketika itu ada kejadian unik, sebuah rombongan sesudah sholat ngomel ternyata imamnya (tidak qunut) tidak sesuai dengan prinsip yang diyakininya (Qunut). Yang terjadi kemudian, beberapa dari rombongan tersebut mengulangi sholatnya. Pertanyaannya adalah bisakah perbedaan dalam contoh persoalan fiqh yang bersumber dari mazdhab seperti contoh kasus tadi bisa disatukan?

Di Indonesia sendiri sangat jarang menyebutkan empat madzhab, Hanafi, Maliki, Syafi’I, dan Hanbali. Namun lebih sering mengutarakan bahwa imamnya adalah imam syafi’I. Bahkan di Jawa Tengah sering ada pujian bahwa imam kita adalah Imam Syafi’i. Wajar jika kemudian ketika tidak mengamalkan salah satu ajarannya, seolah apa yang dilakukannya batal, tidak sah, hingga kemudian mengulang.

Mazdhab sendiri merupakan sistematisasi ajaran yang memudahkan umat muslim untuk mengamalkannya. Hal ini mengingat dalam Islam, sumber hukum dari ayat qur’an berjumlah 6000 ayat lebih, sedangkan hadist sebagai sumber hukum kedua berjumlah jutaan. Sehingga tidak mudah bagi seorang muslim untuk begitu saja mengamalkan. Justru dengan adanya empat madzhab, ajaran Islam, terutama dalam amalan ibadah bisa terpetakan.

Oleh sebab itu antara satu madzhab dengan yang lainnya tidak ada istilah yang satu benar atau yang satu salah, justru ketika ada empat jenis peta yang tersedia, maka tinggal memakai salah satu versi untuk mencapai surganya. Hal ini mengingat masing-masing memiliki landasan yang cukup kuat untuk membuat peta tersebut berdasarkan ribuan ayat dan jutaan hadist yang dimiliki. Mereka semua berusaha untuk mencapai surganya.

Bahkan para imam justru merekomendasikan untuk merujuk pada hadist rasul ketika mendapatkan pertentangan dalam hukum yang mereka putuskan, atau dianggap mengandung kesalahan. Imam Syafi’I bahkan sampai menyatakan,

“Setiap perkataanku atau setiap ushul (asas) yang saya letakkan, kemudian ternyata riwayat dari Rasulullah shallallaahu ’alaihi wa sallam menyelisihi perkataanku, maka pendapat yang harus diikuti adalah apa yang disabdakan oleh Rasulullah shallallaahu ’alaihi wa sallam, dan akupun berpendapat dengannya.” (kabarislamia.com)

Oleh sebab itu meskipun mereka tidak hidup dalam satu masa, namun yang hidup di zaman setelahnya tidak menyalahkan yang hidup sebelumnya, semua memiliki landasan dan pegangan. Seperti Imam Syafi’I tidak menyalahkan Imam Malik, atau Imam Hanbali menyalahkan Imam Syafi’I yang hidup di masa sebelumnya. Hal ini karena keikhlasan mereka dalam membangun struktur fiqh untuk umat Islam, bukan berdasarkan ego dan mengatakan bahwa dirinya paling benar. Maka muncul sebuah ironi, yang membuat mazdhab tidak pernah bertengkar, justru yang menggunakan madzhab bertengkar.

Masalah besar yang ada di Indonesia adalah fanatisme terhadap tokohnya, bukan terhadap hasil hukum yang sudah diperas dari pemikiran mereka. Akibatnya, ketika menemukan perbedaan yang dilihat hanya sebatas “Imam Syafi’I mengatakan demikian”, dan dianggap yang lain mengandung kesalahan.

Padahal Rasul sendiri justru variatif ketika menghukumi sebuah persoalan ibadah yang diamalkan oleh umatnya. Contohnya, ketika dua orang laki-laki diutus oleh Nabi, kemudian keduanya tidak mendapatkan air, maka keduanya bertayamum dan mengerjakan shalat, kemudian keduanya mendapatkan air di saat masih ada waktu untuk shalat. Uniknya salah satu dari keduanya berwudhu, kemudian mengulangi shalatnya.

Maka Rasulullah Saw. berkata kepada orang yang berwudlu dan mengulangi shalatnya, “Bagimu pahala dua kali”

Sedangkan yang tidak berwudhu beliau sampaikan, “Kamu telah mengikuti (melakukan sesuai) sunnah dan shalatmu itu cukup (sah).” HR. Abu Daud. (Salman Al Audah-Bagaimana kita berbeda pendapat)

Dari persoalan ini terlihat kebijaksanaan dan lemah lembut yang ditunjukkan oleh Rasul, beliau memuji keduanya tanpa menyalahkan salah satunya. Kearifan sikap seperti ini yang rasanya sudah hilang di tengah umat Islam.

Seandainya kejadian ini terjadi di masa ini, kemungkinan besar akan menyampaikan, “Kamu bodoh, karena telah melakukan sholat dua kali dalam satu waktu.” Atau “Kamu terlalu mudah untuk tayamum, harusnya dicari terlebih dahulu”.

Oleh sebab itu cara menyikapi perbedaan empat mazdhab sebenarnya hanya bisa disatukan dengan kearifan sikap yang menyadari bahwa pengamalnya sedang berusaha untuk mendapatkan ridho dari Allah melalui ibadah yang dijalaninya. Sehingga bisa jadi kita berkesimpulan, jangan terlalu lelah memikirkan orang yang tidak qunut atau yang qunut, karena kebanyakan orang shalat subuh kesiangan.


About the Author

Ma'mun Affany WA di 085747777728

pin: 56C7E212

Get Updates

Subscribe to our e-mail newsletter to receive updates.

Share This Post

Related posts

0 komentar:

back to top